ADAT PEMINANGAN MASYARAKAT KAMPAR
Peminangan di dalam Adat Masyarakat Kampar, Setelah kita ketahui bersama bahwa di Indonesia ada bermacam-maca adat. Dalam setiap masyarakat dan kebudayaan, perkawinan merupakan hal penting. Perkawinan dalam setiap masyarakat adalah masa peralihan yang paling kompleks yang mencakup faktor-faktor fisik, fisikis, sosiologi dan status sosial individu di dalam masyarakat.
Di wilayah Kabupaten
Kampar terdapat kebiasaan sebelum melakukan peminangan suatu istilah
ambai-ambai artinya pihak laki-laki atau keluarga karib kerabat datang ke rumah
pihak perempuan sebagai jembatan asok setelah didahului dengan kata-kata
berbasa basi dengan pepatah pepatah yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak,
yang wujudnya menanyakan tentang keberadaan sang gadis yang akan dipinang,
apakah sudah bertunangan, atau belum, biasanya dikala usia yang dipinang sudah
15 tahun keatas (umur ini dalam masyarakat Kampar sudah layak untuk dilamar
atau dipinang).
Ada beberapa kriteria yang secara adat dijadikan standar dalam menerima
pinangan tersebut yakni:
1. Apakah calon pelamar shalat
2. Siapa-siapa silsilah keturunannya
3. Apa sukunya, termasuk hubungan darah Perkawinan membatasi seseorang
untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau istrinya. Selain
sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam
kehidupan bermasyarakat manusia, yaitu memberi perlindungan kepada anak-anak
hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup,
memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan
baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.
Pembatasan jodoh
dalam Perkawinan dalam semua masyarakat di dunia ada larangan-larangan yang
harus dipatuhi dalam memilih jodoh. Dalam Adat masyarakat Kampar Kiri,
pembatasan seperti itu juga ada, terutama pembatasan perjodohan
yang dilakukan oleh ajaran Islam (Syariah). Dan disamping adanya pembatasan
perkawinan menurut syariah islam, masyarakat Kampar Kiri juga masih memakai
pembatasan perkawinan menurut adat-istiadat.
ADAT MEMINANG PADA MASYARAKAT KAMPAR
Adat Meminang Dalam
Masyarakat Kampar Di wilayah Kabupaten Kampar terdapat kebiasaan sebelum melakukan
peminangan suatu istilah ambai-ambai artinya pihak laki-laki atau keluarga
karib kerabat datang ke rumah pihak perempuan sebagai jembatan asok setelah
didahului dengan kata-kata berbasa Peminangan adalah : kedua belah pihak memberitahukan niat dan
maksud mereka kepada orang tua. basi dengan petatah petitih yang dapat
dimengerti oleh kedua belah pihak, yang wujudnya menanyakan tentang keberadaan
sang gadis yang akan dipinang, apakah sudah bertunangan, atau belum, biasanya
dikala usia yang dipinang sudah 15 tahun keatas (umur ini dalam masyarakat
Kampar sudah layak untuk dilamar atau dipinang). Artinya penjajakan yang
dilakukan oleh pihak lakilaki kepada pihak perempuan, biasanya utusan itu
datang menemui keluarga pihak perempuan
apakah melalui ayah atau ibu atau mamak atau siapa saja yang ada hubungan keluarga dengan sang gadis yang hendak
dipinang; Menanyakan apakah anak atau
cucunya telah ada ikatan pertunangan dengan orang lain jika nyatakan tidak,
maka barulah utusan ini menyampaikan
bahwa ada orang berkehendak untuk ke rumahnya.
Biasanya jika ada
tanggapan dari pihak keluarga perempuan, ia akan menjanjikan untuk diberi waktu
untuk mengumpulkan orangorang yang berpatut (dalam hal ini keluarga besar)
dengan istilah mengumpulkan orang “ibarat serai berumpun, ayam berinduk”, pihak
keluarga perempuan, mengundang keluarga berpatut tadi dalam membicarakan
tentang ambai-ambai tadi.
Setelah undangan datang
sang ayah menyampaikan maksud undangan, yang wujudnya menyampaikan bahwa kita
punya sekuntum mawar dan sesuai dengan ambai-ambai tadi, dijelaskan ada pula
kembang yang berkehendak mau hinggap. Para orang berpatut menanyakan siapa
gerangan yang hendak hinggap tersebut. Setelah dijelaskan oleh ayah
keluarga perempuan maka
hadirin yang berpatut, menanyakan dan saling akan mengenalkan siapa yang akan
datang, keturunan siapa dia, apa sukunya, apakah muslim yang taat atau tidak,
dapatkah dapatkah calon laki-laki yang meminang itu bisa membawa keluarga jadi
imam dalam shalat.
Ada beberapa kriteria
yang secara adat dijadikan standar dalam menerima pinangan tersebut yakni:
1. Apakah calon pelamar
shalat
2. Siapa-siapa silsilah
keturunannya
3. Apa sukunya,
termasuk hubungan darah.
Tiga hal ini sangat
diperhatikan dan dijadikan bahan pertimbangan untuk langkah-langkah
selanjutnya, apakah akan dapat menerima kedatangan pihak yang melamar atau
tidak.Pada point 1 bagi
masyarakat adat di Air Tirismenjadi ukuran yang utama, dalam adat berpantang
menerima menantu bagi calon yang tidak shalat, sebab terdapat suatu prinsip
yang dipertahankan dalam adat yakni; “adat bersendi syara’, syara’ bersendi
kitabullah, syara’ mengata, adat memakai artinya adat selalu dikaitkan dengan
agama atau syara’. Jadi bagi yang tidak beragama Islam, sudah barang tentu akan
ditolak pinangannya oleh orang-orang yang berpatut dalam keluarga tadi.
Tetapi sebaliknya
hadirin akan sangat senang, kalau calon yang akan melamar itu seorang yang shalat apa lagi kalau dapat menjadi
imam shalat, berarti pada tingkat penyaringan pertama (I) sudah dapat dilewati.
Pembicaraan dilanjutkan pada kriteria kedua (II) yakni silsilah keturunan yakni siapa ayah
ibunya calon yang akan meminang, siapa datuknya
bahkan sampai silsilah teratas yang masih dikenal.
Seandainya terdapat
diantara silsilah keluarga itu cacat menurut adat, atau pernah melanggar aturan agama terutama kalau
terdapat salah seorang dari silsilah itu
yang pernah berzina, maka hal itu
menjadi aib kotor dan dapat dipastikan untuk tidak menerimanya, sebab dalam masyarakat adat
masih tertanam dengan kuat, “warisan kejahatan” artinya sifat yang sama akan
terulang dalam keluarganya kelak sebagai warisan ATAVISME. Kepercayaan seperti ini dalam
masyarakat masih terlalu kental,
sehingga setiap ada kejadian yang buruk dan secara kebetulan ada persamaannya,
maka akan selalu dikatakan “Kemana lagi
cucuran atap akan pergi, tetap ke pelimbahannya juga”. Artinya apa yang pernah
dilakukan oleh leluhurnya dahulu, akan
terulang kembali pada tingkat anak cucunya.
Oleh karena itu apabila
terdapat pada leluhur suatu kecacatan dalam perilaku, tetap dijadikan alasan
untuk tidak dapat menerima kedatangan
pihak lelaki dalam proses peminangan
selanjutnya. Akhirnya yang sangat diperhatikan dalam kriteria ketiga yakni
sesuku. Sebagaimana telah disinggung di atas (dalam pengertian adat) bahwa
sesuku dianggap seperti hubungan darah,
orang-orang yang sesuku dalam adat, sudah
merupakan hubungan kerabat yang sangat dekat sekali, bahkan dalam
masyarakat adat dalam sesuku itu tidak akan
segan-segan apabila meminta makan, minum, karena dianggap seperti
meminta kepada adik atau kakak kandung
sendiri. Penjagaan sepesukuan ini sangat ketat dalam adat bahkan apabila
terjadi perkawinan diantara sesuku ini, harus dipisah, atau dibuang dalam
kampung atau dikenakan denda adat yakni
seekor kerbau. Kerbau tersebut disembelih dan
dimasak oleh pasangan
suami isteri yang melangsungkan perkawinan sesuku, kemudian diundanglah
masyarakat untuk makan bersama. Dalam acara itu tokoh adat menyampaikan kepada
masyarakat bahwa si Polan membayar denda adat yang disebabkan kawin sesuku
tersebut.
Barulah pasangan itu
dapat diterima berkorong kampung sesama masyarakat lain. Setelah pertimbangan
tersebut dilakukan, dan apabila ternyata
ada hal-hal yang mengganjal pada salah satu dari ketiga kriteria yang disebut
terdapat pada calon peminang, maka pertemuan itu tidak dapat menyetujui. Tetapi
sebaliknya manakala tidak ada hal yang melintangi syaratsyarat tersebut, maka
proses peminangan dilanjutkan dengan memberitahukan pada utusan untuk
dipersilahkan datang pada hari tertentu
yang sudah disepakati kedua belah pihak.
PROSES MEMINANG
Setelah diadakan
pertemuan awal menyimpulkan ibarat
pepatah “Ibarat ayam berinduk dan ibarat serai
berumpun”. Maka dilanjutkan proses peminangan yang biasanya dilakukan oleh ibu-ibu orang tua
kampung (yang ditokohkan, dituakan) dalam keluarga untuk pergi bersamasama ke
rumah calon yang akan dipinang dengan membawa
tepak sirih yang berisikan sirih, gambir, kapur, pinang, tembakau,
sebagai pengantar pembuka kata. Setelah mendapat informasi dari sang gadis
dan keluarga maka dilakukan peminangan
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dari ibu-ibu
pihak laki-laki yang datang ke rumah pihak perempuan dengan membawa seperangkat
tepak yang sudah dilengkapi isinya tadi.
Pihak perempuan (yang
akan dipinang) mempersilahkan tamunya untuk naik ke rumah dan sudah disengaja
untuk menunggunya sesuai dengan jam kedatangan yang sudah ditentukan sebelumnya
dan mempersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan secara adat dengan
ketentuan, yang meminang di bendul sebelah tepi bagian sebelah halaman,
sedangkan pihak yang menanti (dipinang), di bendul sebelah tengah. Tidak diperbolehkan salah tempat duduk. Setelah
duduk maka pihak yang datang menjelaskan maksud kedatangan diiringi dengan kata
“inilah sirih kami lihatlah isinya dan makanlah”, kata awal ini dapat dimulai
oleh pihak yang menanti (pihak calon yang akan dilamar) tentu saja menanyakan
maksud kedatangan yakni untuk melamar / meminang anak gadis yang ada di rumah
itu dengan menjelaskan identitas seperti nama, sekolah, umur, dan lain-lain
yang pada wujudnya gadis mana yang akan dipinang. Hal ini dimaksudkan untuk
membedakan saudarasaudaranya perempuan yang lain. Agar tidak salah pinang, manakala pihak perempuan sudah setuju
biasanya tetap keluar kata-kata “Bagi pihak kami yang menanti kurang lebar
telapak tangan, niru kami tadahkan”, jawaban seperti itu sudah sangat
dimengerti oleh pihak yang datang atau pihak laki-laki, bahwa lamarannya sudah
diterima. Menurut kebiasaan yang sudah membudaya dalam adat dan berurat berakar
bahkan sudah menjadi kepercayaan masyarakat dalam pertunangan biasanya dilakukan
pada bulan purnama, karena selagi terang bulan itu dianggap memiliki
langkah-langkah yang akan membawa banyak berkah atau rezeki bagi calon suami
isteri.10 Pertunangan biasanya memakan waktu yang bervariasi lama, mulai dari 6
bulan sampai 2 tahun.
Semasa pertunangan
berlaku beberapa ketentuan bagi kedua belah
pihak yang amat mengikat, antara lain keduanya sudah tidak dibolehkan melirik pria atau wanita lainnya,
bepergian dengan pria atau wanita lain kecuali kalau ada muhrimnya. Pihak
wanita pada masa-masa tertentu (akan memasuki bulan Ramadhan atau di Hari Raya)
datang menjelang (berkunjung) ke rumah calon mertua sambil membawa makanan adat
untuk calon mertua, sekalipun calon suaminya tidak ada di kampung. Selanjutnya
sebagai suatu bukti adanya tali
pertunangan dibuatlah
suatu ikatan atau tanda-tanda “Ibarat tampuk dapat dijinjing dan ibarat tali
dapat dipegang”. Secara adat tanda itu berupa “gelang kesat”, “tanda memiliki
arti yang sangat kuat dalam masyarakat adat”,
apabila terdapat pelanggaran atau
pembatalan baik dari pihak meminang atau
pihak yang dipinang, maka tanda gelang kesat ini imbalan atau tebusannya adalah seekor kerbau. Namun
apabila didapati kata sepakat disebabkan terlalu beratnya denda itu dan dirasa
tidak terbayar, atas perundingan ninik mamak kedua belah pihak dapat mengambil
kebijakan lain. “Jika tidak penuh keatas, penuh kebawah”, artinya apabila tidak
dapat memenuhi seekor kerbau dapat diganti dengan seekor
kambing.
Pertunangan adalah :
berupa perjanjian adat pria dan wanita dengan maksud melanjutkan ke tingkat
perkawinan, setelah lamaran disampaikan oleh pihak pria.
Di Kabupaten Kampar
dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak
menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para
tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun
sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung
dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan
cara bergotong royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan
"catering" untuk acara pernikahan.
Berikut beberapa ritual dalam acara adat (budaya) resepsi pernikahan di Kabupaten Kampar (Ocu).
- Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang memasak untuk acara Resepsi Pernikahan, biasanya diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di Kabupaten Kampar dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan cara bergotong royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan "catering" untuk acara pernikahan.
Berikut beberapa ritual dalam acara adat (budaya) resepsi pernikahan di Kabupaten Kampar (Ocu).
- Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang memasak untuk acara Resepsi Pernikahan, biasanya diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di Kabupaten Kampar dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan cara bergotong royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan "catering" untuk acara pernikahan.
- Acara Shalawatan (Badiqiu)
Badiqiu merupakan suatu acara Budaya sakral yang dilakukan oleh para
tokoh-tokoh dan sesepuh adat pada malam hari sebelum acara resepsi pernikahan
dilakukan, agar acara pernikahan ini berlangsung dengan hikmat dan keluarga
yang baru menjadi keluarga yang utuh hingga akhir hayat.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan (Ba'aghak)
Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini, menambah kehikmatan nilai
budaya yang sakral pada acara pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak
Perempuan, biasanya shalawatan selalu di kumandang kan hingga akhirnya Pihak
Lelaki sampai kerumah Pihak Perempuan.
Akhirnya Mempelai Lelaki sampai juga ke rumah Mempelai Perempuan, dan
mereka langsung dipertemukan kemudian di persandingkan.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki dengan membawa Hantaran (Jambau)
Seperti adat di daerah lainnya, hantaran juga berlaku di kabupaten kampar, tetapi tidak terlalu mengikat, "jika mempelai lelaki tidak mampu untuk memberikanhantaran, maka ini tidak di wajibkan untuk membawa hantaran (Jambau), ini bisa kita temui di beberapa daerah saja di kabupaten kampar.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki dengan membawa Hantaran (Jambau)
Seperti adat di daerah lainnya, hantaran juga berlaku di kabupaten kampar, tetapi tidak terlalu mengikat, "jika mempelai lelaki tidak mampu untuk memberikanhantaran, maka ini tidak di wajibkan untuk membawa hantaran (Jambau), ini bisa kita temui di beberapa daerah saja di kabupaten kampar.
KESIMPULAN
Peminangan adalah : kedua belah pihak memberitahukan niat dan
maksud mereka kepada orang tua. basi dengan petatah petitih yang dapat
dimengerti oleh kedua belah pihak, yang wujudnya menanyakan tentang keberadaan
sang gadis yang akan dipinang, apakah sudah bertunangan, atau belum, biasanya
dikala usia yang dipinang sudah 15 tahun keatas (umur ini dalam masyarakat
Kampar sudah layak untuk dilamar atau dipinang). Artinya penjajakan yang
dilakukan oleh pihak lakilaki kepada pihak perempuan, biasanya utusan itu
datang menemui keluarga pihak perempuan
apakah melalui ayah atau ibu atau mamak atau siapa saja yang ada hubungan keluarga dengan sang gadis yang hendak
dipinang; Menanyakan apakah anak atau
cucunya telah ada ikatan pertunangan dengan orang lain jika nyatakan tidak,
maka barulah utusan ini menyampaikan
bahwa ada orang berkehendak untuk ke rumahnya.
Ada beberapa kriteria
yang secara adat dijadikan standar dalam menerima pinangan tersebut yakni:
1. Apakah calon pelamar
shalat
2. Siapa-siapa silsilah
keturunannya
3. Apa sukunya,
termasuk hubungan darah.
Proses peminangan yang biasanya dilakukan oleh ibu-ibu orang tua
kampung (yang ditokohkan, dituakan) dalam keluarga untuk pergi bersamasama ke
rumah calon yang akan dipinang dengan membawa
tepak sirih yang berisikan sirih, gambir, kapur, pinang, tembakau,
sebagai pengantar pembuka kata. Setelah mendapat informasi dari sang gadis
dan keluarga maka dilakukan peminangan
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dari
ibu-ibu pihak laki-laki yang datang ke rumah pihak perempuan dengan membawa
seperangkat tepak yang sudah dilengkapi isinya.
Mungkin banyak lagi kekurangan dari isi Artikel saya ini. bisa di baca Buku dan artikel yang lain.
Wassalamu'alaikum Wr Wb
0 Response to "ADAT PEMINANG MASYARAKAT KAMPAR"
Post a Comment