Assalamu'alaikum Wr Wb
Pengertian jual beli
Menurut etimologi, jual beli diartikan :
مُقَا بَلَةُ شَيْ ءٍ بِشَيْ ءٍ
Artinya : “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).”
Kata lain dari al-bai’ adalah
asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam
Al-Quran surat Fathir ayat 29 dinyatakan
Artinya : “mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”.
(QS. Fathir :29)
Jual beli di dalam kamus besar
Bahasa Indonesia berarti persetujuan saling mengikat antara penjual dan
pembeli. Penjual yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai
pihak yang membayar harga yang dijual.[1]
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy jual
beli adalah akad yang berdiri atas dasar Penukaran harta dengan harta kemudian
terjadilah penukaran milik secara tetap.[2]
Menurut
Sulaiman Rasjid (1994), jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang
yang lain dengan cara yang tertentu (akad) yang hukumnya adalah boleh/mubah.[3]
Sebagaimana
firman Allah pada Q.S Al-Baqarah ayat 275 :
Artinya : “Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
dan hadist Nabi yang berasal dari Rufa’ah bin Rafi’
menurut riwayat al- Bazar yang disahkan oleh al-Hakim:
أن النبى صلى
الله عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
Artinya : “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah
ditanya tentang usaha apa yang paling baik; nabi berkata: “Usaha seseorang
dengan tangannya dan jual beli yang mabrur”.
Hikmah diperbolehkannya jual beli adalah menghindarkan
manusia dari kesulitan dalam bermu’amalah.[4]
Ada beberapa rukun dan syarat-syarat jual beli menurut
Sulaiman Rasjid (1994), yaitu :
a. Adanya ‘aqid yaitu penjual dan pembeli. Syaratnya
yaitu :
1.
Berakal, orang yang gila atau bodoh
tidak sah jual belinya.
2.
Dengan kehendak sendiri, bukan
dipaksa (asas suka sama suka).
3.
Baligh (berumur 15 tahun ke
atas/dewasa).
b. Adanya ma’qud ‘alaihyaitu adanya harta (uang) dan
barang yang dijual. Syaratnya yaitu:
- Suci atau mungkin disucikan, tidak sah menjual
barang yang najis, seperti anjing, babi dan lain-lain.
- Dapat diserahkan secara cepat atau lambat.
- Milik sendiri.
- Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan
itu harus diketahui banyak, berat, atau jenisnya.
c. Adanya sighat yaitu adanya ijab dan qobul. Ijab
adalah perkataan penjual, sementara kabul adalah ucapan si
pembeli. [5]
Menurut Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin (2007), syarat
sah ijab qabul, yaitu:
1.
Tidak ada yang membatasi
(memisahkan). Si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan
ijab, atau sebaliknya.
2.
Tidak diselingi kata-kata lain.
3.
Tidak dita’likkan (digantungkan)
dengan hal lain. Misal, jika bapakku mati, maka barang ini aku jual padamu.
Tidak
dibatasi waktu. Misal, barang ini aku jual padamu satu bulan saja.[6]
Pengertian Agunan (Jaminan)
Ar-Rahnud alam etimologi artinya:
“tetap dan kekal”. Menurut sebagian ulama: dalam bahasa Ar-Rahnu berarti; penahanan[7].
Sebagaimana
didasarkan pada firman Allah SWT:
“Tiap-tiap diri bertanggung
jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. 74: 38)[8].
Yakni
tiap-tiap diri ditahan karena apa yang sudah ia perbuat.
Adapun
menurut syara’ Ar-Rahnu berarti: “menjadikan
barang yang ada harganya menurut pandangan syara’ sebagai jaminan kepercayaan
hutang-piutang”. Dalam arti seluruh hutang atau sebagainya dapat diambil
sebab sudah ada barang jaminan tersebut.
Dikecualikan dari barang yang ada
harganya, menurut syara’, barang najis dan yang kena najis yang tak dapat
dibersihkan; maka tidak patut dijadikan sebagai barang jaminan kepercayaan
hutang. Termasuk yang
tidak ada nilainya menurut syara’, barang suci tetapi tidak dinilai harta
menurut qiyas sebagaimana keterangan dalam babbai’.[9]
Menurut Bahasa, gadai(al-rahn)
berarti al-htsabut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang
menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat[10].
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, jaminan berasal dari kata jamin
yang artinya adalah menanggung. Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima (borg) atau garansi atau janji seseorang untuk menanggung
utang atau kewajiban tersebut tidak terpenuhi[11].
Sejalan dengan keterangan di atas Sayid Sabiq memaparkan: menurut bahasanya
(dalam bahasa Arab) rahn adalah:
tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-Habsu,
artinya; penahanan. Seperti
dikatakan: ni’matunrahinah, artinya:
karunia yang tetap dan lestari.
Adapun dalam pengertian syara’,
gadai berarti: menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan
syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Demikian
menurut yang didefinisikan para ulama.
Apabila
seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik
berupa barang tak bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaannya
(pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya. Demikian yang dimaksudkan
gadai menurut syara’.
Pemilik
barang yang berhutang disebut Rahin
(yang menggadaikan) dan orang yang menghutangkan, yang mengambil barang
tersebut serta mengikatnya di bawah kekuasaannya disebut Murtahin. Serta untuk sebutan barang yang digadaikan itu sendiri adalah Rahn (gadaian)[12]
Jaminan atau yang lebih dikenal
sebagai agunan adalah harta benda milik debitur atau pihak ketiga yang diikat
sebagai alat pembayar jika terjadi wanprestasi terhadap pihak ketiga.
“Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”(Q.S Al-Baqarah: 283)[13]
Jaminan dalam pengertian yang lebih luas tidak hanya harta yang
ditanggungkan saja, melainkan hal-hal lain seperti kemampuan hidup usaha yang
dikelola oleh debitur. Untuk jaminan jenis ini, diperlukan kemampuan
analisis dari officer pembiayaan untuk menganalisa circle live usaha
debitur serta penambahan keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan
pembiayaan yang telah diberikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah[14].
TM Hasbi Ash
Shiddieqy menegaskan Rahn ialah akad
yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran
dengan sempurna darinya.[15]
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya di samping pertanggung-jawaban
umum debitur terhadap barang-barangnya.[16] Didalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20 s.d 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan, Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum[17]
Pengertian ini senada dengan pengertian jaminan menurut HartonoHadisoeprapto bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur
untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan[18].
Menurut M. Bahsan, jaminan adalah segala sesuatu yang diterima
kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat[19] Pengertian lain tentang jaminan adalah : Suatu perikatan antara kreditur
dengan debitur dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk
pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku
apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang si
debitur[20].
Hasanuddin Rahman menyebutkan bahwa jaminan adalah tanggungan
yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena
pihak kreditur mempunyai kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan[21]
Menurut penulis, jaminan adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang
penerima dana (debitur) kepada orang yang mengasih dana (kreditur) yang dapat dijadikan keyakinan oleh kreditur pada saat dalam masa perjanjian pembiayaan, dan dapat digunakan sebagai
salah satu penyelesaian.
Adapun dasar hukum gadai/jaminan sebagai
berikut:
a.
Di dalam al-Qur’an
Allah berfirman
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh orang yang berpiutang). (Q.S: al-Baqarah: 283)[22]
b.
Sabda Rasulullah SAW :[23]
Dari Abu
hurairah r.a, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: punggung binatang yang
ditunggangi itu dengan nafakah (pembayaran kepada pemiliknya, jika binatang itu
di gadai, susu yang diminum itu dengan nafkah (pembayaran bagi pemiliknya). Jika susu itu menjadi jaminan gadai dan wajib atas orang yang
menungganginya dan yang meminum susunya pembayaran biayanya. (HR. al-Bukhari)
c. Sabda Rasulullah SAW :[24]
Dari Annas, ia berkata, Nabi SAW pernah menggadaikan sebuah baju besi
kepada seorang Yahudi di Madinah dan nabi mengambil gandum dari si Yahudi itu
untuk keluarganya (HR. Ahmad, Bukhary, Nasai an Ibn Majjah)
d. Sabda Rasulullah SAW :[25]
Dan dari
Aisah ra, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli makanan dari seorang
Yahudi secara bertempo, sedang nabi SAW menggadaikan sebuah baju besi kepada
Yahudi itu dan dalam satu lafal (dikatakan): Nabi SAW wafat sedang baju besinya
masih tergadai pada seorang Yahudi dengan tigapuluhsha’ gandum. (HR. Bukhary dan Muslim)
Dengan
merujuk pada hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa hukumnya gadai itu boleh,
sebagaimana dikatakan TM. Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa menggadai barang boleh
hukumnya, baik di dalam hadlar(kampung) maupun di dalam safar(perjalanan), hukum ini disepakati oleh umum
mujtahidin.[26]
Adapun
landasan ijma dapat dikemukakan paparan Sayid Sabiq yang mengatakan: para ulama
telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak pernah mempertentangkan
kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur berpendapat: disyariatkan
pada waktu tidak bepergian dan bepergian, berargumentasi kepada perbuatan
Rasulullah SAW terhadap orang Yahudi di Madinah. Adapun dalam masa perjalanan,
seperti dikaitkan dalam ayat sebagaimana tersebut dalam Qur’an surat al-Baqarah
ayat 283, dengan melihat kebiasaannya, dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu
bepergian.[27]
Fungsi
Jaminan
Jaminan dalam pembiayaan memiliki
dua fungsi yaitu Pertama, untuk pembayaran hutang seandainya terjadi waprestasi
atas pihak ketiga yaitu dengan jalan menguangkan atau menjual jaminan tersebut.
Kedua, sebagai akibat dari fungsi pertama, atau sebagai indikator penentuan
jumlah pembiayaaan yang akan diberikan kepada pihak debitur. Pemberian jumlah pembiayaan tidak boleh melebihi nilai harta yang
dijaminkan.
Fungsi
jaminan adalah untuk menyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai
kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepaanya sesuai yang
diperjanjikan. Jaminan pembiayaan berupa
watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha yang dimiliki debitur merupakan
jaminan immateriil yang berfungsi sebagai first way out. Dengan
jaminan immateriil tersebut dapat diharapkan debitur dapat mengelola
perusahaannya dengan baik sehingga memperoleh pendapatan (revenue)
bisnis guna melunasi pembiayaan sesuai yang diperjanjikan. Jaminan pembiayaan
berupa agunan bersifat kebendaan (materiil) berfungsi sebagai second
way out. Sebagai second way out, pelaksanaan penjualan/eksekusi
agunan baru dapat dilakukan apabila debitur gagal memenuhi kewajibannya melalui
first way out[28].
Konsep Jaminan dalam Hukum Islam
Secara umum
jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang
berupa orang (personal guarancy) dan jaminan yang berupa harta benda.
Yang pertama sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah.
Sedangkan yang kedua dikenal dengan istilah rahn.
Kafalah adalah
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful’anhu).
Menurut bank Indonesia, kafalah adalah akad pemberian jaminan (makful
‘alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan
bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak
penerima jaminan (makful).
Sedangkan rahn
menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs, yaitu penetapan dan
penahanan. Adapula yang menjelaskan bahwa rahn adalah
terkurung atau terjerat[29] Secara istilah yaitu, menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut ajaran islam sebagai jaminan utang, sehingga
orang yang bersangkutan dapat mengambil piutang atau mengambil sebagian manfaat
barang itu. Menurut Dewan Syariah Nasional, Rahn yaitu menahan barang
sebagai jaminan atas hutang[30]. Sedangkan menurut Bank Indonesia, Rahn adalah akad penyerahan
barang/harta dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau seluruh
utang.
Penilaian
dan Pengikatan Jaminan
1. Penilaian / taksasi ( Appraisal ) jaminan
Jaminan yang diberikan selanjutnya perlu dilakukan appraisal guna
mengetahui seberapa besar nilai harta yang dijaminkan. Penilaian atau appraisal
didefinisikan sebagai proses menghitung atau mengestimasi nilai harta jaminan.
Proses dalam memberikan suatu estimasi didasarkan pada niali ekonomis suatu
harta jaminan baik dalam bentuk properti berdasarkan hasil analisa fakta-fakta
obkjektif dan relevan dengan menggunakan metode yang berlaku.
Barang
jaminan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu :
a.
Tangible ( berwujud) seperti tanah, kendaraan, mesin, bangunan dll
b.
Intangible ( tidak berwujud) seperti hak paten, Franchise, merk dagang, Hak
cipta dll
c.
Surat-surat berharga.
Adapun dasar penilaian sebuah
jaminan di dasarkan atas beberapa hal yaitu :
a. Nilai pasar ( Market Value)
yaitu
perkiraan jumlah uang yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil
penukaran suatu properti pada tanggal penilaian antara pembeli yang berminat
membeli dan penjual yang berminat menjual dalam suatu transaksi bebas ikatan
yang penawarannya diakukan secara layak diama kedua belah pihak masing-masing
mengetahui dan bertindak hati-hati tanpa paksaan
b. Nilai baru ( reproduction)
adalah nilai
baru atau baya penggantian baru adalah perkiraan jumlah uang yang dikeluarkan
untuk pengadaan pembangunan/penggantian properti baru yang meliputi baiaya,
upah buruh dan biaya-biaya lain yang terkait.
c. Nilai Wajar (Depreciated Replacement cost)
adalah
perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari perhitungan biaya reproduksi baru
dikurangi biaya penyusutan yang terjadi karena kerusakan fisik,
kemunduran ekonomis dan fungsional.
d. Nilai
Asuransi
adalah nilai
perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari perhitungan biaya pengganti baru dari
bagian-bagian properti yang perlu diasuransikan dikurangi penyusutan karena
kekurangan fisik.
e. Nilai Likuidasi
adalah perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari transaksi jual beli
properti dipasar dalam waktu terbatas dimana penjual terpaksa menjual.
f. Nilai buku
adalah niali aktiva yang dicatat dalam pembukuan yang dikurangi dengan
akumulasi penyusutan atau pengembalian niali-nilai aktiva.
Kedudukan jaminan atau
kolateral bagi pembiayaan memiliki karakteristik khusus. Tidak semua properti
atau harta dapat dijadikan jaminan pembiayaan, melainkan harus memenuhi unsur
MASTS yaitu:[31]
a.
Marketability yakni adanya pasar yang cukup luas bagi jaminan sehingga
tidak sampai melakukan banting harga
b.
Ascertainably of value yakni jaminan harus memiliki standar harga tertentu
c.
Stability of value yakni harta yang dijadikan jaminan stabil dalam
harga atau tidak menurun nilainya
d.
Transferability yaitu harta yang dijaminkan mudah dipindah tangankan baik
secra fisik maupun yuridis
e.
Secured yakni barang yang dijaminkan dapat diadakan pengikatan secara
yuridis formal sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku apabila
terjadi wanprestasi.
2. Pengikatan Jaminan
Selanjutnya Jaminan akan
diikat dengan hukum pengikatan. Hal ini mengacu pada Surat Edaran Bank
Indonesia (SE-BI) No.4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972 disebutkan untuk
benda-benda yang tidak bergerak memakai lembaga jaminan hipotik, Hak Tanggungan
dan fiducia.
Hipotik adalah hak kebendaan atas benda tetap tertentu
milik orang lain yang secara khusus diperikatkan untuk memberikan suatu
tagihan, hak untuk didahulukan di dalam mengambil pelunasan eksekusi atas
barang tersebut. Dasar hukum pengikatan ini
adalah kitab undang-Undang Hukum perdata pasal 11162.
Pengikatan / Hipotik akibat perikatan pokok dapat
berakhir apabila, Pertama karena pembayaran, Kedua penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan dan penitipan, Ketiga
pembaruan hutang, Keempat penjumpaan hutang atau kompensasi, Kelima
pencampuran hutang, Keenam pembebasan hutang, Ketujuh musnahnya
barang yang terhutang, Kedelapan pembatalan, Kesembilan
berlakunya suatu syarat batal, Kesepuluh lewat batas waktu.
Hapusnya Hipotik akibat
perikatan pokok dilakukan oleh kantor pertanahan atas permintaan debitur yang
biasa disebut dengan Roya. Selain itu Hipotik dapat berakir bila penetapan
hakim dan pelepasan hipotik oleh si penghutang.
Sedangkan hak tanggungan
adalah jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memeberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lain. Hak
tanggungan memberikan hak preference pada pemegang terhadap krediturnya yang
lain yaitu diutamakan dalam pengembalian hutangnya dari penjualan barang harta
jaminan yang dilelang. Dasar hukum pengikatan ini adalah UU no 4 tahun 1996
tangal 9 april 1996 mengenai hak tanggungan.
Hapusnya hak tanggungan sesuai dengan pasal 18 Undang-undang hak tanggungan
yaitu :
a.
Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan
b.
Dilepasnya hak tanggungan oleh pemagang hak tanggungan
c.
Pembersihan Hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua
pengadilan negeri
d.
Hapusnya hak tanah yang dibebani oleh hak tanggungan.
Pengikatan yang lain adalah
fiducia. Yang dimaksud fiducia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas dasar kepercayaan bahwa benda yang dimilikinya tersebut dalam kepemilikan
benda. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No.42 tahun 1999. Pemasangan fiducia
hanya bisa dilakukan oleh pemilik barang bergerak yang dijadikan jaminan yang
dilakukan dihadapan notaris. Apabila dibuat dibawah tangan tidak mempunyai
kekuatan hukum untuk mengikat barang jaminan. Akta fiducia didaftarkan di
kantor kanwil kehakiman setempat dan dapat digunakan untuk mengajukan
permohonan eksekusi.
fiducia ada beberapa unsur
antara lain :
a.
Hak jaminan
b.
Benda bergerak
c.
Benda tidak bergerak khususnya bangunan
d.
Tidak bisa dibebani hak tanggungan
e.
Sebagai agunan
f.
Untuk pelunasan hutang.
Sedangkan hapusnya fiducia disebabkan oleh hapusnya
perikatan pokok yaitu perjanjian atau pengakuan hutang yang mendahuluinya
antara lain hapusnya hutang, pelepasan hak atas jaminan fidusia dan musnahnya
barang yang menjadi objek jaminan fiducia.
3. Ongkos atas barang Jaminan
Keberadaan jaminan dalam
pembiayan di perbankan syariah tidak dapat dinafikan sangat diperlukan atau
menempati posisi yang cukup penting. Jaminan memberikan secure tersendiri
terhadap bank atas nasabah pembiayaan dan dapat dijadikan benchmark plafon
jumlah pembiayaan yang akan diberikan.
Keberadaan barang jaminan
sangat diperlukan menurut Muhammad taqi usmani dalam bukunya An Introduction to
Islamic Finance mengatakan bahwa jaminan dalam transaksi murabahah pun sangat
diperlukan akan tetapi persoalannya adalah apakah barang jaminan harus
diberikan fee charged yang harus ditanggung oleh pihak nasabah?. Terdapat
beberapa pendapat bahwa fee bisa saja dibebankan atas jaminan karena diperlukan
usaha untuk mencatat secara tertulis atau memerlukan proses administrasi yang
menggunakan jasa pihak-pihak lain. Akan tetapi dilain sisi terdapat pendapat
tidak membebankan fee atas barang jaminan.[32]
Rukun dan
syarat jual beli
Rukun Jual Beli
1. Adanya ‘aqid (عاقد)
yaitu penjual dan pembeli.
2. Adanya ma’qud ‘alaih (معقود
عليه) yaitu adanya harta (uang) dan barang yang dijual.
3. Adanya sighat (صيغة)
yaitu adanya ijab dan qobul. Ijab adalah penyerahan penjual kepada pembeli
sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak pembeli.[33]
Syarat Jual Beli
1. Syarat bagi (عاقد)
orang yang melakukan akad antara lain:
a) Baligh (berakal)
Allah SWT berfirman:
وَلاتُؤْتُوْا
السّفَهَاء اَمْوَالَـكُمُ الّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا... (النساء: ٥)
“Dan janganlah kamu berikan hartamu itu
kepada orang yang bodoh (belum sempurna akalnya) harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (Q.S. an-Nisa: 5)
Ayat diatas menunjukkan bahwa orang yang bukan ahli
tasaruf tidak boleh melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab qobul).
b) Beragama islam, hal ini berlaku untuk pembeli
(kitab suci al-Qur’an/budak muslim) bukan penjual, hal ini dijadikan syarat
karena dihawatirkan jika orang yang membeli adalah orang kafir, maka mereka
akan merendahkan atau menghina islam dan kaum muslimin.[34]
c) Tidak dipaksa[35]
2. Syarat (معقود عليه)
barang yang diperjualbelikan antara lain:
a) Suci atau mungkin disucikan, tidak sah menjual
barang yang najis, seperti anjing, babi dan lain-lain.
Dalam hadist disebutkan :
عن جابر رضي
الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن الله ورسوله حرّم بيع الخمر
والخنزير ولأصنام (رواه البخارى ومسلم)
Artinya “Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah SAW.
bersabda, ‘sesungguhnya Allah dan Rasul telah mengharamkan jual beli arak,
bangkai, babi, dan berhala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
b) Bermanfaat
c) Dapat diserahkan secara cepat atau lambat
d) Milik sendiri
e) Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan
itu harus diketahui banyak, berat, atau jenisnya. Dalam sebuah hadist
disebutkan:
عن أبى هريرة
رضي الله عنه قال :نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر
(رواه مسلم)
Artinya : “Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, :
Rasulullah SAW. telah melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual
beli yang mengandung tipuan.” (H.R. Muslim)
3. Syarat sah ijab qobul:
a) Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli
tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.
b) Tidak diselingi kata-kata lain
c) Tidak dita’likkan (digantungkan) dengan hal lain.
Misal, jika bapakku mati, maka barang ini aku jual padamu.
Macam-macam Jual Beli
Menurut Rachmat Syafei (2001),macam-macam jual beli
terbagi berdasarkan pertukarannya secara umum dan berdasarkan segi harta.[37]
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi
empat macam yaitu:
- Jual beli saham (pesanan)
- Jual beli muqayyadah (barter)
- Jual beli muthlaq yang telah disepakati, misanya
berupa uang dan lain-lain.
- Jual beli alat penukar dengan alat penukar,
misalnya uang perak dengan uang emas.
Jual beli berdasarkan segi harga terbagi menjadi empat
yaitu:
J 1. Jual beli yang menguntungkan
(al-murabbahah)
2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah)
3. Jual beli rugi (al-khasarah)
4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridlai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah)
3. Jual beli rugi (al-khasarah)
4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridlai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
Jual beli yang dilarang dalam islam
Jual Beli yang dilarang dalam Islam
1. Jual beli gharar Adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan
dan penghianatan. Hadist Nabi dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحصاة
وعن بيع الغرر.
2. Jual beli mulaqih (الملاقيح) Adalah jual beli dimana barang yang dijual berupa hewan yang
masih dalam bibit jantan sebelum bersetubuh dengan betina. Hadist dari Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bazzar:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المضامين
والملاقيح
3. Jual beli mudhamin (المضامين) Adalah jual beli hewan yang masih dalam perut induknya,
4. Jual beli muhaqolah (المحاقلة) Adalah jual beli buah buahan yang masih ada di tangkainya dan
belum layak untuk dimakan.
5. Jual beli munabadzah (المنابذة) Adalah tukar menukar kurma basah dengan kurma kering dan tukar
menukar anggur basah dengan anggur kering dengan menggunakan alat ukur takaran.
6. Jual beli mukhabarah (المخابرة) Adalah muamalah dengan penggunaan tanah dengan imbalan bagian
dari apa yang dihasilkan oleh tanah tersebut.
7. Jual beli tsunaya (الثنيا) Adalah jual beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang
menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak
jelas.
8. Jual beli ‘asb al-fahl (عسب الفحل) Adalah memperjual-belikan bibit pejantan hewan untuk dibiakkan
dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak.
9. Jual beli mulamasah (الملامسة) Adalah jual beli antara dua pihak, yang satu diantaranya
menyentuh pakaian pihak lain yang diperjual-belikan waktu malam atau siang.
10. Jual beli munabadzah (المنابذة) Adalah jual beli dengan melemparkan apa yang ada padanya ke
pihak lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan
objek jual beli.
11. Jual beli ‘urban (العربان) Adalah jual beli atas suatu barang dengan harga tertentu,
dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi
dilangsungkan akan membayar dengan harga yang telah disepakati, namun kalau
tidak jadi, uang muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.
12. Jual beli talqi rukban (الركبان) Adalah jual beli setelah pembeli datang menyongsong penjual
sebelum ia sampai di pasar dan mengetahui harga pasaran.
13. Jual beli orang kota dengan orang desa (بيع حاضر لباد) Adalah orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual
barangnya pada orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran.
14. Jual beli musharrah (المصرة) Musharrah adalah nama hewan ternak yang diikat puting susunya
sehingga kelihatan susunya banyak, hal ini dilakukan agar harganya lebih
tinggi.
15. Jual beli shubrah (الصبرة) Adalah jual beli barang yang ditumpuk yang mana bagian luar
terlihat lebih baik dari bagian dalam.
16. Jual beli najasy (النجش) Jual beli yang bersifat pura-pura dimana si pembeli menaikkan
harga barang , bukan untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar
membeli dengan harga yang tinggi.[38]
Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama,
sebagaimana disinggung diatas, tidak membedakan antara fasid dan batal. Dengan
kata lain, menurut jumhur ulama, hukum jual beli terbagi dua yaitu jual beli
sahih dan jual beli fasid, sedangkan menurut ulama Hanafiyah jual beli terbagi
tiga, jual beli sahih, fasid, dan batal.
Berkenaan dengan
jual beli dalam islam, Wahbah Al-Juhaili meringkasnya sebagai berikut.
1.
Terlarang
sebab ahliah (Ahli Akad). Ulama telah sepakat bawha jual beli dikategorikan sahih apabila
dilakukan oleh orang yang baliq, berakal, dapat memilih, dan mampu
ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah
jual-belinya adalaha verikut ini.
a.
Jual-beli
orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begiti pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begiti pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain.
b.
Jual-beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual-beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baliqh, tidak sah sebab tidak ada ahlliah.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual-beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baliqh, tidak sah sebab tidak ada ahlliah.
Adapun
menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, jual beli anak kecil
dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu
cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual
beli, juga pengamalan atas firman Allah SWT :
Artinya : “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa’ : 6)
c. Jual
beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur ulama jika barang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur ulama jika barang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual
beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah tidak lazim, baginya ada khiyar. Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidah sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah tidak lazim, baginya ada khiyar. Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidah sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual
beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulamA Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemilik. Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulamA Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemilik. Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual
beli orang yang terlarang
Maksud terlarang disini adalah terlarang karena kebodohan, bangkrut, ataupun sakit. Jual beli orang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling sahih dikalangan Hanabilah, harus ditangguhkan. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Maksud terlarang disini adalah terlarang karena kebodohan, bangkrut, ataupun sakit. Jual beli orang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling sahih dikalangan Hanabilah, harus ditangguhkan. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut
berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah, sedangkan
menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang
sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan
bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin
ahli warisnya. Menurut ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya dibolehkan pada
harta yang tidak bergerak, seperti ruma, tanah, dan lain-lain.
g. Jual
beli malja’
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.
2. Terlarang
sebab shighat
Ulama fiqih telah sepakat atas
sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan diantara pihak yang melakukan
akad, ada kesesuaian diantara ijab dan qabul; berada di satu tempat, dan tidak
terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli tidak memenuhi ketentuan
tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau
masih diperdebatkan oleh para ulama adalah berikut ini.
a. Jual
beli mu’athah
Jual beli mu’athah adalah jual beli yang telah disepakati oleh
pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai iajab
qabul. Jumhur ulama menyatakan sahih apabila ada ijab salah satunya. Begitu
pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat perbuatan, atau cara-cara lain yang
menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai
shighat dengan perbuatan atau isyarat.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jual beli harus disertai
ijab qabul, yakni dengan shighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat, sebab
keridaan sifat itu tersembunyi dan tidak dapat tidak diketahui, kecuali dengan
ucapan. Mereka hanya membolehkan jual beli dengan isyarat, bagi orang yang
uzur.
Jual beli al-mu’athah dipandang tidak sah menurut ulama Hanafiyah,
tetapi, sebagian ulama Syafi’iyah membolehkannya, seperti imam Nawawi.
Menurutnya hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibn
Suraij dan Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal kecil.
b. Jual
beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan
adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama
kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak
sah, seperti surat tidak sampai ketanagan yang dimaksud.
c. Jual
beli dengan isyarat atau tulisan
d. Disepakati
kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama
dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga, menunjukkan apa yang ada dalam hati
aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat
dibaca), akad tidak sah.
e. Jual
beli barang yang tidak ada ditempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada
ditempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in’iqad (terjadinya
akad).
f. Jual
beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama, akan tetapi,
jika lebih baik, seperti meninggilkan harga, menurut ulama Hanafiyah
membolehkannya, sedangkan ulama syafi’iyah menganggapnya tidak sah.
g. Jual
beli munjiz
Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau
ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid
menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.
[1] Peter Salim dan Yanny Salim, Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer (Jakarta: Medern English Press, 1991), Hlm. 623.
[2] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), Hlm. 93.
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar
Baru Algensindo,1994), Hlm.278.
[4]
Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), Hlm. 193-194.
[5]
Sulaiman Rasjid, Ibid, Hlm. 281.
[6]
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih
Madzhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), Hlm. 26-29.
[7]
Abdul al-Rahman
al-Jaziry, Kitabal-Fiqh ‘ala-Madzahib
al-Arba’ah, Juz 2, Maktabah al-Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 286
[8] DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surya Cipta Aksara Surabaya, 1993, hlm.
995.
[9] Ibid.
[10]
Lihat Kifayat al-Akhyar hlm. 261, lihat pula Idris Ahtllad, fiqh al-Syafi’iyah.
Hlm. 59.
[11]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), h. 348
[13] Depag, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Surabaya: CV. Penerbit Fajar
Mulya,1998), Hlm. 49
[14]
Rachmadi
Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003), Hlm. 281
[15] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm.
86-87.
[16]Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada) ,ed I cet1, h. 21
[17]
Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, h. 22
[18] Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, h. 22
[19] Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, h. 22
[21] Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek HukumPemberian Kredit Perbankan di Indonesia,(Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995) h.175
[22]DEPAG RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya, hlm. 71.
[23]Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhary, al-Jamiu Shahih al-Bukhary, Juz 2, Dar
al-Fiqr, Beirut, 1410H/1990M, hlm. 78. Cf. al-San’ani, Subul al-Salam SarhBulugh al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz
3, Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, Kairo, 1960 hlm. 51. Al-Hafidz Ibn, Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Marram, Daar al-Kutub
al-Ijtimaiyah, Bairut Libanon, tt, 175.
[24]Al-Imam Abu AbdirrahmanAhmad Ibn Syuaib Ibn ‘Ali Ibn Sinan Ibn Bahr
an-Nasa’i, as-Sunanu as-Sughra Wa Hiya
al-MusammatuBilMujtaba, Tijariah Kubra, Beirut, tt, hlm. 83. lihat juga
al-Imam alamah Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad as-Syaukani, Nail al-Autar Min
AsrariMuntaqa al-Akhbar, Mustafa al-Babi al-Halabi, tt, hlm. 618.
[25]Al-Imam Abul Husain Muslim Ibn al-Hajjaz al-kusairi an-Naisaburi, al-Jami’u al-Sahihu Muslim, Dar Ihya,
al-Kutub al-Arabiyah, tt, hlm. 87. Lihat juga, al-Imam Alamah IbnAli Ibn Muhammad
Asy-Syaukani.
[26]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Cet. 2, PT.
Rosda Karya Yogyakarta, 1990, hlm. 419.
[27]Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 155.
[28] Faturrahman
Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah (Jakarta:
Sinar Grafika, 2000), Hlm. 44
[29] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Rajawali Perss, 2010), Hlm. 105.
[30] Fatwa DSN
No. 25/DSN-MUI/III/2002
[31] Budi Untung, Kredit Perbankan Di Indonesia (Yogyakarta: Andi, 2000), Hlm. 58
[32] Mufti Muhammad Taqi Usmani, An Introduction To Islamic Finance
(Pakistan: Maktaba Ma’ariful Qur’an 2002), Hlm. 129-131
[33]
Imam Abi Zakaria al-Anshari, Fathu al-Wahab, (Surabaya:
al-Hidayah), Hlm. 157.
[34]
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung:
Pustaka Setia, 2007), Hlm. 28.
[35]
Imam Abi Zakaria al-Anshari, Fathu al-Wahab, (Surabaya:
al-Hidayah), Hlm. 158.
[36] Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung:
Pustaka Setia, 2007), Hlm.26-
29.
[37] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN,
PTAIS, dan Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Hlm. 101-102.
[38] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh,
(Jakarta: Kencana, 2003), Hlm. 201-209.
0 Response to "JUAL BELI DENGAN JAMINAN DALAM ISLAM"
Post a Comment